A. Klasifikasi Pendidikan
Matematika
Treffers
(Zulkardi, 2001: 2) mengklasifikasikan pendidikan matematika berdasarkan
matematisasi horizontal dan vertikal. Matematisasi horizontal adalah proses
matematika pada tahapan mengubah persoalan sehari-hari (situasi nyata) menjadi
persoalan matematika sehingga dapat diselesaikan ke dalam simbol-simbol dan
metode matematika. Sedangkan matematisasi vertikal adalah proses matematika
pada tahapan penggunaan simbol matematika/proses pengorganisasian yang terjadi
dalam sistem matematika itu sendiri. Dengan demikian matematisasi horizontal
merupakan suatu proses yang diawali dari dunia nyata menuju dunia simbol dan
matematisasi vertikal merupakan suatu perpindahan yang terjadi dalam dunia
simbol itu sendiri.
Selanjutnya Treffers (Zulkardi, 2001: 9) mengklasifikasikan pendidikan
matematika tersebut ke dalam empat klasifikasi, yaitu:
1.
Mechanistic,
atau “Pendekatan tradisional” yang
diartikan pada drill-practice dan pola atau pattern yang
menganggap orang seperti mesin. Pada pendekatan ini, baik matematisasi
horizontal maupun vertikal tidak digunakan.
2.
Empiristic. Pendekatan ini berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa
dunia adalah realitas, siswa dihadapkan pada situasi nyata bahwa mereka harus
menggunakan aktivitas horizontal matematisasi. Pendekatan ini secara umum
jarang digunakan dalam matematika.
3.
Structuralistic. Pendekatan ini dikenal sebagai matematika moderen,
didasarkan pada teori himpunan dan game yang bisa dikategorikan ke dalam
RME matematisasi vertikal. Tetapi ditetapkan dari dunia yang dibuat secara adhoc
(sementara), maksudnya didefinisikan sesuai dengan
kebutuhan yang tidak ada kesamaan dengan dunia siswa.
4. Realistic.
Pendekatan ini menggunakan suatu situasi dunia nyata atau suatu konteks sebagai
titik tolak dalam belajar matematika. Pada tahap ini siswa melakukan
matematisasi horizontal. Maksudnya siswa mengorganisasikan masalah dan
mengidentifikasikan aspek masalah yang ada pada masalah tersebut, kemudian
dengan menggunakan matematisasi vertikal siswa tiba pada tahap pembentukan
konsep.
B.
Pendekatan
Realistic Mathematic Education (RME)
Pendekatan
realistik dalam pembelajaran matematika merupakan suatu kerangka pembelajaran
yang berlandaskan bahwa matematika adalah human activities, maka
pendekatan matematika hendaknya menggambarkan aktivitas kehidupan manusia.
Menurut pandangan ini bahwa matematika tidak lagi dipandang sebagai strict
body of knowledge melainkan merupakan aktivitas yang dapat ditelusuri
secara menyenangkan oleh siswa, karenanya pembelajaran matematika di kelas
hendaknya memfasilitasi siswa untuk menemukan sendiri pola-pola atau algoritma
(Permana, 2001: 1)
RME atau
pembelajaran matematika realistik
adalah pendekatan pengajaran yang
bertitik tolak dari hal-hal yang nyata bagi siswa, menekankan keterampilan process
of doing mathematics, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan
teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri strategi atau cara
penyelesaian masalah (student inventing sebagai kebalikan dari teacher
teaching), dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok. Pada pendekatan ini guru
berperan sebagai fasilitator, moderator
dan evaluator, sementara siswa berpikir, mengkomunikasikan penalarannya,
melatih nuansa demokrasi dengan menghargai pendapat orang lain (Zulkardi, 2001:
2).
Menurut
Freudenthal (Zulkardi, 1999) bahwa “Mathematics is a human activity and must
be connected to reality”. Pertama, matematika sebagai aktivitas manusia,
sehingga siswa harus diberi kesempatan untuk belajar melakukan aktivitas
matematisasi. Kedua, matematika harus dekat terhadap siswa dan harus dikaitkan
dengan situasi kehidupan sehari-hari. Freudenthal (Turmudzi, 1999: 2) yang
mengemukakan tentang “mathematization” sebagai karakteristik utama dari
RME yaitu “What humans have to learn is not mathematics as a closed system,
but rather as an activity, the process of
mathematizing reality and possible even that of mathematizing”.
“Pendekatan
matematika realistik pada hakikatnya adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran
matematika yang menggunakan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik
untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga dapat mencapai
tujuan pendidikan matematika secara lebih baik daripada masa yang lalu. Dalam
pendekatan matematika realistik diharapkan terjadi urutan “situasi nyata” → “model
situasi itu” → “model ke arah formal” (Soedjadi, 2001: 4).
Istilah “mathematization” oleh De Lange
disejajarkan dengan “modelling” atau lebih tepatnya “Process of
Modelling” . Menurut Janver (Turmudi, 1999: 2) modeling didefinisikan
sebagai proses ganda yang melibatkan: 1) penciptaan suatu model dengan asumsi
dan 2) mengecek selama fase validasi. Lebih lanjut menurut De Lange (Turmudi.
1999: 2) dijelaskan bahwa:
“Proses mathematization
akan memaksa siswa untuk mengeksploitasi situasi, mencari dan mengidentifikasi
matematika yang relevan, menskemakan, memvisualisasikan, untuk menemukan
keteraturan dan mengembangkan model yang mengahsilkan konsep matematika”.
C.
Prinsip-prinsip Realistic
Mathematic Education (RME)
Berkaitan dengan proses pengembangan konsep matematika di
atas, menurut Gravemeijer (1994) terdapat tiga prinsip utama dalam pendekatan
matematika realistik yaitu: (a) Guided
Reinvention and Progressive Mathematization (Penemuan terbimbing dan
Bermatematika secara Progressif, (b) Didactical
Phenomenology (Penomena Pembelajaran), dan (c) Self-developed Models (Pengembangan Model Mandiri).
Prinsip
Penemuan terbimbing dimaksudkan, siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri
konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai soal kontekstual yang sudah
dikenal siswa. Bermatematika secara progressif dimaksudkan bermatematika secara
horizontal dan vertikal. Matematika secara horizontal, siswa diharapkan mampu
mengidentifikasi soal kontekstual sehingga dapat ditransfer ke dalam soal
bentuk matematika berupa model, diagram, tabel (model informal) untuk lebih
dipahami. Sedangkan matematika vertikal, siswa menyelesaikan bentuk matematika formal atau non formal dari
soal kontekstual dengan menggunakan konsep, operasi dan prosedur matematika
yang berlaku.
Prinsip
kedua, adanya penomena pembelajaran yang menekankan pentingnya soal kontekstual
untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa dengan
mempertimbangkan kecocokan aplikasi konteks dalam pembelajaran dan kecocokan
dampak dalam proses penemuan kembali bentuk dan model matematika dari soal
kontekstual tersebut.
Prinsip
ketiga, pengembangan model
mandiri berfungsi untuk
menjembatani antara pengetahuan matematika non formal dengan formal dari
siswa. Model matematika dimunculkan dan dikembangkan secara mandiri berdasarkan
model-model matematika yang telah diketahui siswa. Di awali dengan soal
kontekstual dari situasi nyata yang sudah dikenal siswa kemudian ditemukan
model dari (model of) dari situasi
tersebut (bentuk informal) dan kemudian diikuti dengan penemuan model untuk (model for) dari bentuk tersebut (bentuk formal), hingga mendapatkan penyelesaian masalah dalam bentuk
pengetahuan matematika yang standar.
.
Langkah-langkah
Realistic Mathematic Education (RME)
Berdasarkan teori-teori tentang RME, dapat dirumuskan beberapa langkah
pendekatan matematika realistik dalam pembelajaran matematika realistik sebagai
berikut:
1. Langkah pertama: Guru mengkondisikan kelas agar kondusif.
Pendekatan
matematika realistik memerlukan kondisi kelas yang kondusif, agar siswa dapat
mengembangkan kemampuannya secara optimal. Oleh karena itu, guru sebagai
fasilitator mengkondisikan kelas agar tercipta suasana yang kondusif dengan
cara mengatur sarana dan prasarana belajar serta suasana belajar. Penyusunan
kursi, meja dan papan tulis agar dapat digunakan untuk diskusi kelompok dan
proses bimbingan oleh guru serta penyediaan media maupun alat peraga yang
diperlukan untuk memahami masalah kontekstual maupun untuk memahami konsep dan
algoritma dalam matematika. Penciptaan suasana belajar yang kondusif dengan
cara menciptakan suasana yang demokratis dimana siswa dapat belajar dengan
bebas. Langkah pertama ini sesuai dengan peran guru sebagai fasilitator dalam
pembelajaran matematika realistik.
2. Langkah
kedua: Guru menyampaikan dan menjelaskan masalah kontekstual.
Guru menyampaikan dan menjelaskan
masalah (soal) kontekstual, agar siswa dapat memahami masalah kontekstual
dengan benar. Masalah kontekstual yang disampaikan guru dapat berupa masalah
yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dapat pula ha1-hal yang dapat
difikirkan oleh siswa. Tema dari masalah kontekstual
disesuaikan dengan konsep maupun algoritma yang ingin dipahami oleh siswa
selain disampaikan oleh guru, masalah kontekstual dapat pula berasal dari
siswa. Langkah kedua sesuai karakteristik pertama dan keempat dari pembelajaran
matematika realistik yakni adanya masalah kontekstual serta interaksi antar
siswa dan antara siswa dengan guru.
3. Langkah ketiga:
Siswa menyelesaikan masalah kontekstual.
Secara individual
atau kelompok, siswa menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka
sendiri dengan maupun tanpa bimbingan guru. Kegiatan penyelesaian soal bertumpu
pada penemuan konsep maupun algoritma dalam matematika dilakukan siswa melalui
kegiatan invention atau reinvention dengan cara memodelkan
masalah secara informal yang dilanjutkan pada penyelesaian formal. Untuk
memperoleh penyelesaian soal maupun penemuan konsep atau algoritma dalam
matematika siswa selalu melakukan kegiatan refleksi yakni meninjau ulang hal
yang telah dilakukan agar diperoleh hasil yang diharapkan.
Guru memotivasi dan
membimbing siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami konsep maupun dalam
menemukan cara menyelesaikan masalah yang sesuai dengan cara mereka sendiri
dengan memberikan petunjuk/saran. Dalam membimbing siswa memahami suatu konsep
matematika, guru dapat mengkaitkan konsep yang akan dipahami tersebut dengan
konsep lain pada topik yang berbeda yang telah dipahami oleh siswa. Dengan
bantuan topik lain tersebut, siswa dapat terbantu dalam memahami suatu konsep
dalam matematika.
Perbedaan proses
maupun hasil dari penyelesaian suatu masalah oleh siswa sangat dimungkinkan,
karena adanya perbedaan pengetahuan maupun pengalaman siswa sebelumnya. Adanya
perbedaan kemampuan awal dari siswa membawa dampak terhadap perbedaan perlakuan yang dilakukan guru.
Guru membimbing siswa sesuai dengan kemampuan dan karakteristiknya
Guru
menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan
mendiskusikan jawaban dari soal secara berkelompok, untuk selanjutnya
dibandingkan dan didiskusikan pada diskusi kelas. Dalam diskusi, siswapun
melakukan kegiatan refleksi terhadap hal yang telah diperoleh oleh siswa, baik
mengenai pemahaman tentang masalah kontekstual, model masalah, cara
menyelesaikan masalah dan jawaban dari masalah tersebut. Karakteristik
pendekatan matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah
karakteristik ketiga, keempat dan kelima yaitu mengkaitkan sesama topik,
penggunaan metode interaktif dan menggunakan ragam jawaban dan kontribusi
siswa.
4. Langkah keempat: Penarikan kesimpulan.
Dan hasil diskusi
kelompok maupun diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan
terhadap penyelesaian suatu masalah kontekstual dan membuat generalisasi konsep
atau algoritma yang ditemukan. Guru berperan sebagai mediator yang mengarahkan
diskusi agar berlangsung secara dinamis dan demokratis, sehingga diperoleh
hasil kesimpulan bersama.
Karakteristik
pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini
karakteristik keempat dan kelima yaitu adanya interaksi antara siswa dengan
guru dan penghargaan terhadap ragam jawaban dan kontribusi siswa.
5. Langkah kelima: Penegasan dan pemberian tugas.
Hasil kesimpulan
tentang penyelesaian dan masalah kontekstual dan hasil generalisasi dari suatu
konsep maupun algoritma dalam matematika yang diperoleh ditegaskan kembali oleh
guru. Hal ini dilakukan agar pemahaman yang telah diperoleh siswa menjadi lebih
mantap. Untuk lebih memantapkan pengetahuan maupun keterampilan yang telah
diperoleh siswa, maka guru memberikan soal-soal latihan untuk dikerjakan siswa
secara individual maupun kelompok. Penyelesaian tugas tersebut dapat dilakukan
di kelas maupun di rumah (PR).