Selasa, 03 Mei 2011

Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI)


A.    Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI)

1.      Pengetahuan Sistem Insturksional
Sstem Instruksional menunjukkan pada pengertian pengajaran sebagai sistem, yaitu sebagai suatu kesatuan yang terorganisasi, yang terdiri atas sejumlah komponen yang saling berhubungan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Sebagai suatu sistem, pengajaran mengandung sejumlah komponen, antara lain: materi pelajaran, metode, dan alat evaluasi, yang kesemuanya itu berinteraksi satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan pengajaran yang telah dirumuskan.
Dengan kata lain, agar tujuan itu dapat tercapai, semua komponen yang ada di dalamnya harus diorganisasikan sedemikian rupa, sehingga komponen-komponen tersebut dapat bekerja sama dengan harmonis. Oleh karena itu, di dalam mengembangkan suatu pengajaran atau Sistem Instruksional, tidak hanya memperhatikan komponen materi, metode, atau evaluasi saja, tetapi juga melihat pengajaran sebagai suatu keseluruhan sebagai suatu sistem.
Meskipun tujuan-tujuan pengajaran yang telah dirumuskan sebaik mungkin, apabila tidak disertai dengan materi pelajaran yang sesuai, metode/alat yang tepat, prosedur evaluasi yang mantap, maka tipis kemungkinan tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai.
Pengertian Sistem Instruksional dapat dikembangkan dalam ruang lingkup yang sangat terbatas, yang disebut micro-system, misalnya sistem dalam  pengajaran mengenai suatu topik pelajaran tertentu.

2.      Langkah –langkah Pokok di Dalam Mengembangkan Sistem Instruksional
Apabila kita ingin mengajarkan suatu topik pelajaran kepada siswa, perlu ditempuh sejumlah langkah-langkah tertentu sebagai berikut:

a.      Merumuskan Tujuan-tujuan Pengajaran (Instruksional) yang Ingin Dicapai
1.      Pengertian
Tujuan-tujuan instruksional di sini maksudnya adalah perumusan tentang tingkah laku atau kemampuuan-kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh para siswa setelah ia mengikuti pengajaran yang telah diberikan. Kemampuan-kemampuan yang diharapkan itu dirumuskan secara spesifik atau khusus dan operasional sehingga nantinya dapat dinilai. Dengan demikian, tujuan yang dirumuskan tersebut tidak akan menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda pada orang lain yang membaca rumusun tujuan tersebut.
2.      Perbedaan antara Tujuan Instruksional dan Proses Mengajar
Telah dinyatakan bahwa tujuan instruksional mengandung perumusan tingkah laku/ kemampuan yang dimiliki siswa setelah menyelesaikan suatu kegiatan belajar tertentu.
Perhatikan pernyataan di bawah ini :
“Mengajarkan kepada siswa tentang jenis-jenis bangun datar.”
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pernyataan di atas bukan merupakan perumusan tujuan, sebab pernyataan tersebut tidak mengambarkan kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah mengikuti sesuatu kegiatan belajar tertentu. Sebaliknya pernyataan di atas lebih merupakan suatu proses mengajar, bukan tujuan instruksional.
Perhatikanlah contoh di bawah ini yang memperlihatkan perbedaan antara tujaun instruksional dan proses mengajar.
Tujuan Instruksional
Proses Mengajar
1.       Siswa dapat menyebutkan dengan tepat jenis-jenis bangun datar.
2.       Siswa dapat menghitung luas bujur sangkar yang diketahui panjang salah satu sisinya.
1.      Mengajarkan kepada siswa tentang jenis-jenis bangun datar.

2.      Mengajarkan kepada siswa cara menghitung luas bujur sangkar.

3.      Bagaimana Merumuskan Kemampuan-kemampuan Siswa dalam Tujuan Instruksional
Perumusan kemampuan siswa merupakan syarat mutlak dalam tujuan instruksional. Perumusan tersebut hendaknya cukup jelas sehingga tidak menimbulkan tafsiran yang berbeda. Untuk itu hendaknya digunakan istilah-istilah tertentu yang operasional sehingga dapat diukur, tetapi jika yang digunakan istilah-istilah yang kurang operasional dapat menimbulkan berbagai interpretasi yang berbeda.
Contoh istilah-istilah yang operasional: menuliskan, menyebutkan, memiliki, membedakan, memecahkan (soal), membandingkan, menghitung dan sebagainya.
Contoh istilah-istilah yang kurang operasional: memahami, mengetahui, menikmati, menghargai, mempercayai, meyakinkan dan sebagainya.

4.      Kriteria dalam Merumuskan Tujuan Instruksional
Sebagai pedoman bagi guru-guru dalam menyusun tujuan-tujuan instrusional, maka kriteria yang harus diperhatikan dalam merumuskan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam suatu topik pelajaran  tertentu adalah:
a)      Harus menggunakan istilah-istilah yang operasional.
Contoh:
-          Tepat : “siswa dapat memberikan contoh tentang penerapan matematika pada kehidupan sehari-hari.”
-          Kurang tepat :  “siswa mengetahui tentang penerapan matematika pada kehidupan sehari-hari.
b)      Harus dalam bentuk hasil belajar
Tujuan instruksional hendaknya menggambarkan hasil belajar yang diharapakan pada diri siswa setelah ia menempuh suatu kegiatan belajar tertentu, jadi yang dilukiskan di sini bukan apa-apa yang ia pelajari, tapi hasil apa yang ia peroleh setelah mempelajari sesuatu.


Contoh:
-          Tepat: “siswa dapat mengubah bilangan pecahan ke dalam bentuk bilangan desimal.”
-          Kurang tepat: “ cara-cara mengubah bilangan pecahan ke dalam bentuk bilangan desimal.”
c)      Harus berbentuk tingkah laku siswa
Isi perumusan tujuan instruksional hendaknya bertolak pada perubahan tingkah laku siswa yang diharapkan, bukan pada proses mengajar guru.
Contoh:
-          Tepat: “siswa dapat menemukan dengan tepat nilai p dalam suatu persamaan kuadrat.”
-          Kurang tepat: “membina kemampuan memecahkan paersamaan kuadrat.”
d)      Hanya meliputi satu jenis tingkal laku.
Perumusan tujuan hendaknya meliputi hanya satu jenis tingkah laku/ kemampuan saja. Bila terkandung lebih dari satu kemampuan dalam suatu perumusan tujuan sering timbul kesulitan dalam mengevaluasi sampai dimana tujuan tersebut telah tercapai, sebab mungkin salah satu aspek kemampuan lainnya belum tercapai.
Contoh:
-          Tepat: “siswa dapat menghitung rata-rata suatu populasi.”
-          Kurang tepat: “siswa dapat menghitung rata-rata dan variansi dari suatu populasi.”

b.      Mengembangkan Alat Evaluasi
Setelah semua tujuan-tujuan instruksional selesai dirumuskan, maka langkah selanjutnya mengembangkan alat evaluasi untuk menilai sampai dimana tujuan-tujuan tersebut telah tercapai.
Untuk menilai tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan tersebut, maka perlu ditentukan terlebih dahulu jenis-jenis tes yang akan digunakan, tes tersebut dapat berupa tes lisan, tes tulisan maupun tes perbuatan.
1)      Bila suatu tujuan berbunyi sebagai berikut:
“ Siswa dapat menyebutkan macam-macam bangun ruang”. Maka jenis tes untuk menilai tercapai tidaknya tujuan tersebut adalah jenis tes lisan.
2)      Bila suatu tujuan berbunyi sebagai berikut:
“Siswa dapat menyelesaikan pertidaksamaan trigonometri”. Maka jenis tes untuk menilai tercapai tidaknya tujuan tersebut adalah tes tertulis.
3)      Bila suatu tujuan berbunyi sebagai berikut:
“Siswa dapat membuat salah satu bangun ruang dari kertas manila”. Maka jenis tes untuk menilai tercapai tidaknya tujuan ini adalah jenis tes perbuatan, dimana siswa melakukan sesuatu dan penilaian oleh guru dilakukan melalui observasi terhadap perbuatan siswa.
Kemudian langkah selanjutnya dalam mengembangkan alat evaluasi adalah merumuskan pertanyaan-pertanyaan (items) untuk menilai masing-masing tujuan. Pertanyaan tersebut dapat berupa uraian atau pertanyaan-pertanyaan dengan pilihan jawaban terbatas, ataupun bentuk-bentuk lainnya seperti bentuk melengkapi dan pertanyaan-pertanyaan yang menuntut jawaban-jawaban singkat.

c.       Menetapkan Kegiatan-kegiatan Belajar yang Perlu Ditempuh.
Langkah selanjutnya adalah menetapkan kegiatan belajar apakah yang perlu ditempuh, agar mereka dapat melakukan hal-hal yang telah dirumuskan tujuan inatruksional.
Langkah-langkah pokok untuk melaksanakan tugas ini agar lebih baik adalah:
1.      Merumuskan semua kemungkinan kegiatan belajar yang diperlukan untuk mencapai tujuan instruksional.
2.      Menetapkan dari sekian kegiatan-kegiatan belajar tersebut yang tidak perlu ditempuh lagi oleh siswa berhubung mereka telah mengetahuinya. Untuk itu perlu diadakan sebuah tes, yaitu Input Test yang bertujuan untuk menilai pengetahuan/ keterampilan siswa dalam kegiatan-kegiatan belajar ynag telah dirumuskan, sehingga dengan demikian dapat ditentukan kegiatan-kegiatan belajar mana yang perlu dan mana yang tidak perlu lagi ditempuh siswa untuk mnecapai suatu tujuan instruksional tertentu.
Misalnya pada pelajaran bangun ruang, setelah diadakan Input Test ternyata semua siswa telah mengetahui macam-macam bangun ruang, tetapi mereka belum mengetahui cara mencari volume bangun  ruang tersebut.
3.      Menetapkan kegiatan-kegiatan belajar mana yang nantinya akan ditempuh siswa.
Setelah kegiatan-kegiatan belajar tersebut dirumuskan, maka langkah selanjutnya adalah menetapkan kemampuan-kemampuan dasar tertentu, seperti kemampuan di bidang bahasa, bilangan, dan ruang.

d.      Merencanakan Program Kegiatan
1.      Merumuskan materi pelajaran
Setelah kegiatan belajar yang akan ditempuh oleh siswa dirumuskan, maka langkah selanjutnya merumuskan pokok-pokok materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswa sesuai dengan jenis-jenis kegiatan belajar yang telah ditetapkan.
2.      Metode yang digunakan
Untuk memilih metode-metode mana yang tepat untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa, perlu ketahui dulu sejumlah metode yang dapat digunakan dalam mengajar. Seperti metode ceramah, demonstrasi, pemberian tugas dan sebagainya.
3.      Menyusun jadwal
Atas dasar banyaknya materi yang ingin disampaikan dan metode-metode yang digunakan, maka kita coba untuk memperhitungkan dalam beberapa jam pelajaran materi tersebut dapat disampaikan seluruhnya. Dengan cara inilah kita dapat menyusun jadwal pengajaran mengenai topik yang akan diberikan.


e.       Melaksanakan Program.
1.      Mengadakan Pre-Test
Tujuan dari Pre-Test ini adalah untuk menilai sampai dimana siswa telah menguasai kemampuan-kemampuan yang tercantum dalam tujuan-tujuan instruksional, sebelum mereka mengikuti program pengajaran yang telah disiapkan. Hasil Pre-Test ini berfungsi sebagai bahan perbandingan dengan hasil post-test setelah mereka selesai mengikuti program pengajaran tertentu. Test yang diberikan dalam pre-test berupa tes lisan, tes tulisan, atau tes perbuatan.
2.      Menyampaikan materi pelajaran kepada siswa
Dalam menyampaikan materi pelajaran pada prinsipnya, berpegang pada rencana yang telah disusun dalam langkah Perencanaan Program Kegiatan, baik mengenai materi, metode maupun alat yang digunakan. Disamping itu, sebelum guru-guru mulai menyampaikan materi pelajaran hendaknya dijelaskan dulu tujuan-tujuan instruksional yang ingin dicapai kepada siswa sehingga sebelum pelajaran dimulai mereka telah mengetahui kemampuan-kemampuan apakah yang diharapkan dari mereka setelah selesai mengikuti pengajaran.
3.      Mengadakan Post-Test (Evaluasi)
Post-Test diberikan setelah siswa mengikuti program pengajaran. Test yang diberikan dalam Post-Test identik tes yang diberikan pada Pre-Test.
Jadi perbedaan antara Pre-Test dan Post-Test hanyalah dalam waktu dan fungsi masing-masing, yaitu:
-          Pre-Test diadakan sebelum pengajaran dimulai sedangkan Post-Test diadakan setelah siswa selesai mengikuti pengajaran yang diberikan.
-          Pre-Test berfungsi untuk menilai kemampuan siswa mengenai materi pelajaran sebelum pengajaran diberikan, sedangkan Post-Test berfungsi untuk menilai kemampuan siswa mengenai materi pelajaran setelah pengajaran diberikan.
Setelah post-test selesai dilakukan dan diperiksa, maka selanjutnya membandingkannya dengan nilai pre-test.
Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk membandingkan hasil Pre-Test dan Post-Test:
(1)   Hasil keseluruhan test
Untuk melakukan perbandingan ini langkah-langkah yang ditempuh:
a)      Menghitung angka rata-rata yang dicapai siswa pada Pre-Test.
b)      Menghitung angka rata-rata yang dicapai siswa pada Post-Test.
Dengan melihat perbedaan rata-rata antara Pre-Test dan Post-Test dapat kita simpulkan sampai dimana manfaat program pengajaran yang telah diberikan dalam mencapai tujuan-tujuan instruksional yang telah dirumuskan.
(2)   Pertanyaan demi pertanyaan
Disini semua pertanyaan tes dianalisa dengan cara yang sama, sehingga kelemahan yang terdapat dalam bagian-bagian tertentu pada program yang telah disusun dapat diketahui.
Dengan melakukan dua jenis perbandingan tersebut, maka sekurang-kurangnya kita dapat mengetahui 3 hal:
a.          Hasil belajar yang dicapai masing-masing siswa dengan program pengajaran yang kita adakan.
b.          Sampai dimana program yang kita adakan telah berhasil mencapai tujuan-tujuna yang telah dirumuskan.
c.          Kelemahan-kelemahan yang masih terdapat dalam begian-bagian tertentu dari program yang kita berikan, sehingga memberikan pedoman pada kita untuk melakukan revisi.

Sabtu, 30 April 2011

Penilaian Berbasis Kelas


A.    Pengertian
Penilaian berbasis kelas adalah penilaian yang dilakukan oeleh guru dalam rangka proses pembelajaran. Penilaian berbasis kelas merupakan proses pengumpulan dan penggunaan informasi dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan oleh guru untuk menetapkantingkat pencapaian dan penguasaan peserta didik terhadap tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, yaitu standar kompetensi, kompetensi dasar dan indicator pencapaian belajar yang terdapat dalam kurikulum.
Peranan guru menjadi semakin kompleks karena bukan hanya menjadi fasilitator didalam ruangan kelas melainkan juga menjadi designer (perancang) dariejumlah aspek yag menjadi bahan penilaian. Guru dituntut untuk mampu mendesain pembelajaran yang disusun secara sistematis dan kontinuitas, membuat agenda belajar, menyediakan kuis-kuis, menyusun modul dan merancang rubric yang dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan portofolio, product, project, performance.

B.     Karakteristik penilaian berbasis kelas
  1. Penilaian berbasis kelas merupakan bagian interal dalam proses pembelajaran, artinya bahwa penilaian ini dilakukan secara terus menerus dalam setiap kegiatan pembelajaran yang dilakukan siswa baik di dalam maupun diluar kelas, seperti dilaboratorium atau dilapangan ketika siswa sedang melakukan proses pembelajaran.
  2. Penilaian berbasis kelas merupakan proses pengupulan informaisyang menyeluruh, artinya dalam penilaian ini guru dapat mengembangkan berbagai jenis evaluasi baik evaluasi yang berkaitan dengan pengujian dan pengukuran tingkat kognitif siswa seperti menggunakan tes maupun evaluasi terhadap perkembangan mental melalui penilaian tentang sikap, dan evaluasi terhadap produk ataukarya siswa.
  3. Hasil pengumpulan informasi ssimanfaatkan untuk menetapkan tingkat penguasaan kompetensi baik standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator hasil belajar seperti yang terdapat dalam kurikulum.
  4. Hasil pengumpulan informasi digunakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa melalui proses perbaikan kualitas pembelajaran agar lebih efektif dan efisien


C.     Manfaat penilaian berbasis kelas
  1. Menjamin agar proses pembelajaran yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencapai kompetensi sesuai dengan kurikulum.
  2. Menentukan berbagai kelemahan dan kelebihan baik yang dilakukan siswa maupun guru selama proses pembelajaran berlangsung.
  3. Menentukan pencapaian kompetensi oleh siswa, apakah siswa telah mencapai seluruh kompetensi yang diharapkan atau belum.

D.    Prinsip penilaian berbasis kelas
Sebagai suatu proses, pelaksanaan penilaian berbasis kelas harus terencana dan terarah sesuai dengan tujuan pencapaian kompetensi. Hakekat penilaian berbasis kelas adalah untuk menigkatkan kualitas pembelajaran, bukan semata-mata alat untuk mengetahui penguasaan materi pelajaran. Oleh karena itulah dalam proses pelaksanaannya, guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
  1. Motivasi
Penilaian berbasis kelas diarahkan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa melalui upaya pemahaman akan kekuatan dan kelemahan yang dimilki baik oleh guru maupun siswa.

  1. Validitas
Penilaian diarahkan bukan semata-mata untuk melengkapi syarat administratif saja, akan tetapi diarahkan untuk memperoleh informasi tentang ketercapaian kompetensi seperti yang terumuskan dalam kurikulum.
  1. Adil
Penilaian berbasis kelas menekankan perlakuan yang adil kepada semua peserta didik. Artinya semua peserta didik harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk dinilai tanpa membedakan latar belakang sosial ekonomi, budaya, bahasa dan jenis kelamin.
  1. Terbuka
Penilaian berbasis kelas menekankan adanya keterbukaan, dimana semua pihak baik guru maupun peserta didik perlu mengenali kemampuan masing-masing, jenis penilaian maupun format penilaian yang akan digunakan.
  1. Berkesinambungan
Penilaian berbasis kelas pada hakekatnya merupakan bagian integral dari proses pembelajaran. Oleh karena itu penilaian harus dilakukan secara berencana, bertahap dan terus menerus untuk memperoleh ganbaran tentang perkembangan belajar peserta didik. Hal ini dilakukan untuk melihat kesinambungan antara materi pokok yang satu dengan materi pokok yang lain.
  1. Bermakna
Penilaian ini harus tersusun dan terarah, sehingga hasilnya benar-benar memberikan makna kepada semua pihak khususnya kepada siswa itu sendiri. Melalui penilaian berbasis kelas, siswa akan mengetahui posisi mereka dalam perolehan kompetensi. Disamping itu mereka akan memahami kesulitan-kesulitan yang dirasakan dalam mencapai kompetensi. Dengan demikian hasil penilaian itu juga bermakna bagi guru temasuk bagi orang tua dalam memberikan bimbingan kepada setiap siswa dalam upaya memperoleh kompetensi sesuai dengan target kurikulum.
  1. Menyeluruh
Penilaian berbasis klas dilakukan dengan berbagai teknik dan prosedur untuk menjamin tersedianya informasi yang utuh dan lengkap tentang kinerja peserta didik, baik yang mencakup aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. Guru hendaknya menggunakan semua jenis penilaian seperti penilaian tertulis, penilaian project, penilaian penampilan, penilaian portofolio yang sangat bergantung kepada tuntutan kompetensi yang terdapat dalam kurikulum.
  1. Edukatif
Hasil penilaian berbasis kelas tidak semata-mata diarahkan untuk memperoleh gambaran kemampuan siswa dalam pencapaian kompetensi melalui angka yang diperoleh, akan tetapi hasil penilaian harus memberikan umpan balik untuk memperbaiki proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru maupun siswa, sehingga hasil belajar lebih optimal. Dengan demikian proses penilaian tidak semata-mata tidak tanggung jawab guru akan tetapi juga merupakan tanggung jawab siswa.

E.     Dasar penilaian berbasis kelas
Penerapan penilaian berbasis kelas dilakuakn sesuai dengan jenis dan bentuk penilaian yang digunakan dikelas. Dalam penggunaan penilaian berbasis kelas, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Guru terlebih dahulu memahami kondisi peserta didik sehingga mampu menerapkan pengajaran yang tepat.
  2. Menjelaskan tujuan kegiatan pembelajaran.
  3. Menentukan kompetensi peserta didik
  4. Memilih teknik penilaian berbasis kelas yang tepat.
  5. Memilih gaya pengajaran secara konsisten sehingga dapat diterapkan dengan mudah.
  6. Guru dan peserta didik mampu menggunakan informasi hasil belajar peserta didik secara maksimal.
  7. Mampu menelaah hasil teknik penilaian.
  8. Mampu mengetahui teknik penilaian yang digunakan.

F.      Jenis penilaian berbasis kelas
Jenis penilaian sangat bergantung kepada kompetensi dasar maupun indikator  yang di uraikan dalam kurikulum.
  1. Tes tertulis
Penilaian secara tertulis dilakukan dengan tes tertulis. Tes Tertulis merupakan tes dimana soal dan jawaban yang diberikan kepada peserta didik dalam bentuk tulisan. Dalam menjawab soal peserta didik tidak selalu merespon dalam bentuk menulis jawaban tetapi dapat juga dalam bentuk yang lain seperti memberi tanda, mewarnai, menggambar dan lain sebagainya.
  1. Tes perbuatan
Tes perbuatan dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung yang memungkinkan terjadinya praktek.
  1. Pemberian tugas
Pemberian tugas dilakukan untuk semua mata pelajaran mulai awal kelas sampai akhir kelas sesuai dengan materi pelajaran dan perkembangan peserta didik. Pelaksanaan pemberian tugas perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Jumlah tugas yang diberikan tidak memberatkan peserta didik.
2.      Jenis dan materi pemberian tugas harus didasarkan kepada tujuan pemberian tuigas.
3.      Tugas dapat mengembangkan kreatifitas dan rasa tanggung jawab serta kemandiriran siswa.
  1. Penilaian proyek
Penilaian proyek merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan dalam periode/waktu tertentu.
Dalam penilaian proyek setidaknya ada 3 (tiga) hal yang perlu dipertimbangkan yaitu:
v  Kemampuan pengelolaan
Kemampuan peserta didik dalam memilih topik dan mencari informasi serta dalam mengelola waktu pengumpulan data dan penulisan laporan.

v  Relevansi
Kesesuaian dengan mata pelajaran/program keahlian, dalam hal ini mempertimbangkan tahap pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman dalam pembelajaran.
v  Keaslian
Proyek yang dilakukan peserta didik harus merupakan hasil karyanya, dengan mempertimbangkan kontribusi guru, du/di, penilai pada proyek peserta didik, dalam hal ini petunjuk atau dukungan.

  1. Penilaian produk
Penilaian produk adalah penilaian terhadap keterampilan dalam membuat suatu produk dan kualitas produk tersebut. Penilaian produk tidak hanya diperoleh dari hasil akhir saja tetapi juga proses pembuatannya. Penilaian produk meliputi penilaian terhadap kemampuan peserta didik membuat produk-produk teknologi dan seni, seperti: makanan, pakaian, hasil karya seni (patung, lukisan, gambar), barang-barang terbuat dari kayu, keramik, plastik, dan logam.

ETIKA DAN PROFESI GURU


A.  Pengertian Sikap Profesional
Sikap adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang dan kesediaan bereaksi individu terhadap suatu obyek tertentu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah profesional ditemukan sebagai berikut: profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu. Profesional adalah 1) bersangkutan dengan profesi, 2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya dan 3) mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukanya.[1]
Berbicara tentang sikap profesional guru tidak terlepas dari kompetensi. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasi oleh guru atau dosen dalam melaksankan tugas keprofesionalan.[2]
Salah satu dari kompetensi adalah seperangkat perilaku, dimana dapat dikategorikan kepada kompetensi kepribadian. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.[3]
Guru sebagai pendidik yang profesional mempunyai citra yang baik di tengah-tengah masyarakat. Dan dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan dan teladan bagi masyarakat.
Dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa sikap professional guru adalah suatu tindakan atau perilaku seorang guru terhadap profesinya, dimana ia harus mempunyai kepribadian yang mantap dan berwibawa serta menjadi teladan bagi peserta didiknya.


B.  Sasaran Sikap Profesional
Masyarakat terutama akan melihat sikap dan perbuatan guru itu sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak. Pola tingkah laku yang berhubungan dengan sasarannya yaitu[4]:
a.     Sikap Terhadap Peratuan Perundang-Undangan
Pada butir 9 Kode Etik Guru Indonesia disebutkan bahwa: Guru melakanakan segala kebijakan pemerintuah untuk bidang pendidikan.” Kebijakan pendidikan di Negara kita dipegang oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan mengeluarkan ketentuan–ketentuan dan peraturan peraturan yang merupakan kebijakan yang akan dilaksanakan oleh apratnya, yang meliputi pembangunan gedung-gedung pendidikan, pemerataan kesempatan belajar dengan melalui kewajiban belajar, peningkatan mutu pendidikan dan lain-lain.
Guru merupakan unsur aparatur negara dan abdi Negara harus memiliki sikap mematuhi peraturan perundang-undangan dengan tujuan antra lain:
1)      guru ikut serta dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional di dunia.
2)      Menjadi suri tauladan bagi komponen peserta didik dan masyarakat sekitar.

b.    Sikap Terhadap Organisasi Profesi
Guru bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian. PGRI sebagai organisasi profesi memerlukan pembinaan agar lebih berdaya guna dan berhasil sebagai wadah menyalurkan aspirasi guru-guru untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dasar ini menunjukkan betapa pentingnya peranan organisasi profesi sebagai wadah dan sarana pengabdian. PGRI sebagai oraganisasi profesi memerlukan pembainaan, agar lebih berdaya guna dan berhasil guna sebagai wadah usaha untuk membawakan misi dan memantapkan profesi guru. Organisasi PGRI merupakan suatu sistem, dimana unsur pembentuknya adalah guru-guru. Oleh karena itu, guru harus bertindak sesuai dengan tujuan sistem. Ada hubungan timbal balik antara anggota profesi dengan organisasi, baik dalam melaksanakan kewajiban maupun dalam mendapatkan hak.
Maka dari itu setiap anggota harus memberikan waktu sebagiannya untuk kepentingan pembinaan profesinya dan semua waktu dan tenaga yang diberikan oleh para anggota ini dikoordinasikan oleh para pejabat organisasi tersebut, sehingga pemanfaatannya menjadi efektif dan efisien
Dalam dasar keenam dari kode etik disebutkan bahwa guru secara pribadi dan bersama-sama, mengembangkan, dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya. Dasar ini sangat tegas mewajibkan kepada seluruh anggota profesi guru untuk selalu meningkatkan mutu dna martabat profesi guru itu sendiri. Untuk meningkatkan mutu suatu profesi, khususnya profesi keguruan, dapat dilakukan dengan berbaga cara, misalnya dengan melakukan penataran, lokakarya, pendidikan lanjutan, dan sebagainya.

c.     Sikap Terhadap Teman Sejawat
Dalam ayat 7 Kode Etik Guru disebutkan bahwa guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial. Itu berarti guru hendaknya kerja dan hendaknya menciptakan dan memelihara semangat kekeluargaan di dalam maupun di luar sekolah.
Dalam hal ini Kode Etik Guru Indonesia menunjukkan betapa pentingnya hubungan yang hormonis perlu diciptakan dengan mewujudkan perasaan bersaudara yang mendalam antara sesama anggota profesi.
Hubungan sesama anggota profesi dapat dilihat dari dua segi, yaitu:
b.    Hubungan formal
Hubungan formal merupakan hubungan yang perlu dilakukan dalam rangka melakukan tugas kedinasan.
c.    Hubungan Kekeluargaan
Hubungan kekeluargaan merupakan hubungan persaudaraan yang perlu dilakukan, baik dalam lingkungan kerja maupun dalam hubungan keseluruhan.


1)        Hubungan Guru berdasarkan Lingkungan Kerja
Dalam setiap sekolah terdapat seorang kepala sekolah dan beberapa orang guru dan ditambah beebrapa orang personel sekolah lainnya. Berhasil tidaknya sekolah membawa misinya tergantung dari warga sekolah itu tersebut. Agar setiap personel sekolah dapat berfungsi sebagaimana mestinya, mutlak adanya hubungan baik dan harmonis antar sesame personel yaitu hubungan baik anatara kepala sekolah dengan guru, guru dengan guru, kepala sekolah atau guru dengan personal lainnya, dan personal lainnya juga harus mampu menciptakan hubungan baik dengan peserta didik di sekolah tersebut.
Sikap profesional lainnya yang harus dtumbuhkan oleh guru adalah sikap ingin bekerja sama, saling menghargai, saling pengertian dan rasa tanggung jawab. Jika ini sudah berkembang akan tumbuh rasa senasib dan sepenanggungan serta menyadari akan kepentingan bersama, tidak mementingkan kepentingan diri sendiri, serta mengorbankan kepentingan orang lain (Hermawan, 1979).
2)        Hubungan Guru berdasarkan Lingkungan Keseluruhan
Jika dilihat saat sekarang ini, persaudaraan yang terjalin antar sesama guru masih kurang untuk itu masih sangat perlu ditumbuhkan, sehingga kelak akan terjalinnya persaudaraan yang kokoh dan baik.

C.  Ciri-Ciri Sikap Professional
Pada Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional Bab XI tentang pendidikan dan tenaga pendidik pasal 40 ayat 2:
Pendidikan dan tenaga kependidikan berkewajiban:
a.       Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;
b.      Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan
c.       Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Guru merupakan jabatan profesional yang memerlukan keahlian khusus atau kompetensi dan salah satunya adalah kompetensi kepribadian yang memiliki kriteria sebagai berikut[5]:
a.       Berkepribadian/ berjiwa Pancasila.
b.      Mampu menghayati GBHN.
c.       Mencintai bangsa dan sesama manusia dan rasa kasih sayang kepada anak didik.
d.      Budi pekerti yang luhur.
e.       Berjiwa kreatif, dapat memanfaatkan rasa pendidikan yang ada secara maksimal.
f.       Mampu menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa.
g.      Mampu mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab yang besar tugasnya.
h.      Mampu mengembangkan kecerdasan yang tinggi.
i.        Bersifat terbuka, peka, dan inovatif.
j.        Menunjukkan rasa cinta kepada profesinya.
k.      Ketaatannya akan disiplin.
l.        Memiliki sense of humor.










[1] http://litbangagamajkt.org/wp-content/uploads/2008/08/mulyana_prof_guru_banten.pdf
[2] Depag,  UU dan PP tentang Pendidikan, (Jakarta: Depag, 2006),  hal 84
[3] Ibid, hal 131
[4] Soetjipto, Profesi Keguruan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 43-49
[5] Oemar Malik, Pendidikan Guru berdasarkan Pendekatan Kompetensi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal 37