Rabu, 20 Februari 2013

MODEL REALISTIC MATHEMATICS EDUACATION (RME)




A.     Klasifikasi Pendidikan Matematika
            Treffers (Zulkardi, 2001: 2) mengklasifikasikan pendidikan matematika berdasarkan matematisasi horizontal dan vertikal. Matematisasi horizontal adalah proses matematika pada tahapan mengubah persoalan sehari-hari (situasi nyata) menjadi persoalan matematika sehingga dapat diselesaikan ke dalam simbol-simbol dan metode matematika. Sedangkan matematisasi vertikal adalah proses matematika pada tahapan penggunaan simbol matematika/proses pengorganisasian yang terjadi dalam sistem matematika itu sendiri. Dengan demikian matematisasi horizontal merupakan suatu proses yang diawali dari dunia nyata menuju dunia simbol dan matematisasi vertikal merupakan suatu perpindahan yang terjadi dalam dunia simbol itu sendiri.
Selanjutnya Treffers (Zulkardi, 2001: 9) mengklasifikasikan pendidikan matematika tersebut ke dalam empat klasifikasi, yaitu:
1.      Mechanistic, atau “Pendekatan tradisional” yang diartikan pada drill-practice dan pola atau pattern yang menganggap orang seperti mesin. Pada pendekatan ini, baik matematisasi horizontal maupun vertikal tidak digunakan.
2.      Empiristic. Pendekatan ini berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa dunia adalah realitas, siswa dihadapkan pada situasi nyata bahwa mereka harus menggunakan aktivitas horizontal matematisasi. Pendekatan ini secara umum jarang digunakan dalam matematika.
3.      Structuralistic. Pendekatan ini dikenal sebagai matematika moderen, didasarkan pada teori himpunan dan game yang bisa dikategorikan ke dalam RME matematisasi vertikal. Tetapi ditetapkan dari dunia yang dibuat secara adhoc (sementara), maksudnya didefinisikan sesuai dengan kebutuhan yang tidak ada kesamaan dengan dunia siswa.
4.      Realistic. Pendekatan ini menggunakan suatu situasi dunia nyata atau suatu konteks sebagai titik tolak dalam belajar matematika. Pada tahap ini siswa melakukan matematisasi horizontal. Maksudnya siswa mengorganisasikan masalah dan mengidentifikasikan aspek masalah yang ada pada masalah tersebut, kemudian dengan menggunakan matematisasi vertikal siswa tiba pada tahap pembentukan konsep.

B.      Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)
            Pendekatan realistik dalam pembelajaran matematika merupakan suatu kerangka pembelajaran yang berlandaskan bahwa matematika adalah human activities, maka pendekatan matematika hendaknya menggambarkan aktivitas kehidupan manusia. Menurut pandangan ini bahwa matematika tidak lagi dipandang sebagai strict body of knowledge melainkan merupakan aktivitas yang dapat ditelusuri secara menyenangkan oleh siswa, karenanya pembelajaran matematika di kelas hendaknya memfasilitasi siswa untuk menemukan sendiri pola-pola atau algoritma (Permana, 2001: 1)
RME atau pembelajaran matematika realistik  adalah  pendekatan pengajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang nyata bagi siswa, menekankan keterampilan process of doing mathematics, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri strategi atau cara penyelesaian masalah (student inventing sebagai kebalikan dari teacher teaching), dan pada akhirnya menggunakan matematika itu  untuk menyelesaikan masalah baik  secara individu  maupun kelompok. Pada pendekatan ini guru berperan  sebagai fasilitator, moderator dan evaluator, sementara siswa berpikir, mengkomunikasikan penalarannya, melatih nuansa demokrasi dengan menghargai pendapat orang lain (Zulkardi, 2001: 2).
            Menurut Freudenthal (Zulkardi, 1999) bahwa “Mathematics is a human activity and must be connected to reality”. Pertama, matematika sebagai aktivitas manusia, sehingga siswa harus diberi kesempatan untuk belajar melakukan aktivitas matematisasi. Kedua, matematika harus dekat terhadap siswa dan harus dikaitkan dengan situasi kehidupan sehari-hari. Freudenthal (Turmudzi, 1999: 2) yang mengemukakan tentang “mathematization” sebagai karakteristik utama dari RME yaitu “What humans have to learn is not mathematics as a closed system, but rather as an activity, the process of  mathematizing reality and possible even that of mathematizing”.
            “Pendekatan matematika realistik pada hakikatnya adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang menggunakan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik daripada masa yang lalu. Dalam pendekatan matematika realistik diharapkan terjadi urutan “situasi nyata” → “model situasi itu” → “model ke arah formal” (Soedjadi, 2001: 4).
Istilah “mathematization” oleh De Lange disejajarkan dengan “modelling” atau lebih tepatnya “Process of Modelling” . Menurut Janver (Turmudi, 1999: 2) modeling didefinisikan sebagai proses ganda yang melibatkan: 1) penciptaan suatu model dengan asumsi dan 2) mengecek selama fase validasi. Lebih lanjut menurut De Lange (Turmudi. 1999: 2) dijelaskan bahwa:
 “Proses mathematization akan memaksa siswa untuk mengeksploitasi situasi, mencari dan mengidentifikasi matematika yang relevan, menskemakan, memvisualisasikan, untuk menemukan keteraturan dan mengembangkan model yang mengahsilkan konsep matematika”.
           
C.      Prinsip-prinsip Realistic Mathematic Education (RME)
Berkaitan dengan proses pengembangan konsep matematika di atas, menurut Gravemeijer (1994) terdapat tiga prinsip utama dalam pendekatan matematika realistik yaitu: (a) Guided Reinvention and Progressive Mathematization (Penemuan terbimbing dan Bermatematika secara Progressif, (b) Didactical Phenomenology (Penomena Pembelajaran), dan (c) Self-developed Models (Pengembangan Model Mandiri).
Prinsip Penemuan terbimbing dimaksudkan, siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai soal kontekstual yang sudah dikenal siswa. Bermatematika secara progressif dimaksudkan bermatematika secara horizontal dan vertikal. Matematika secara horizontal, siswa diharapkan mampu mengidentifikasi soal kontekstual sehingga dapat ditransfer ke dalam soal bentuk matematika berupa model, diagram, tabel (model informal) untuk lebih dipahami. Sedangkan matematika vertikal, siswa menyelesaikan  bentuk matematika formal atau non formal dari soal kontekstual dengan menggunakan konsep, operasi dan prosedur matematika yang berlaku.
Prinsip kedua, adanya penomena pembelajaran yang menekankan pentingnya soal kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa dengan mempertimbangkan kecocokan aplikasi konteks dalam pembelajaran dan kecocokan dampak dalam proses penemuan kembali bentuk dan model matematika dari soal kontekstual tersebut.
Prinsip   ketiga,  pengembangan   model  mandiri   berfungsi  untuk   menjembatani antara pengetahuan matematika non formal dengan formal dari siswa. Model matematika dimunculkan dan dikembangkan secara mandiri berdasarkan model-model matematika yang telah diketahui siswa. Di awali dengan soal kontekstual dari situasi nyata yang sudah dikenal siswa kemudian ditemukan model dari (model of) dari situasi tersebut (bentuk informal) dan kemudian diikuti dengan penemuan model untuk (model for) dari bentuk  tersebut (bentuk formal), hingga  mendapatkan penyelesaian masalah dalam bentuk pengetahuan matematika yang standar.

.      Langkah-langkah Realistic Mathematic Education (RME)
Berdasarkan teori-teori tentang RME, dapat dirumuskan beberapa langkah pendekatan matematika realistik dalam pembelajaran matematika realistik sebagai berikut:
1. Langkah pertama:  Guru mengkondisikan kelas agar kondusif.
Pendekatan matematika realistik memerlukan kondisi kelas yang kondusif, agar siswa dapat mengembangkan kemampuannya secara optimal. Oleh karena itu, guru sebagai fasilitator mengkondisikan kelas agar tercipta suasana yang kondusif dengan cara mengatur sarana dan prasarana belajar serta suasana belajar. Penyusunan kursi, meja dan papan tulis agar dapat digunakan untuk diskusi kelompok dan proses bimbingan oleh guru serta penyediaan media maupun alat peraga yang diperlukan untuk memahami masalah kontekstual maupun untuk memahami konsep dan algoritma dalam matematika. Penciptaan suasana belajar yang kondusif dengan cara menciptakan suasana yang demokratis dimana siswa dapat belajar dengan bebas. Langkah pertama ini sesuai dengan peran guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran matematika realistik.

2. Langkah kedua: Guru menyampaikan dan menjelaskan masalah kontekstual.
Guru menyampaikan dan menjelaskan masalah (soal) kontekstual, agar siswa dapat memahami masalah kontekstual dengan benar. Masalah kontekstual yang disampaikan guru dapat berupa masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dapat pula ha1-hal yang dapat difikirkan oleh siswa. Tema dari masalah kontekstual disesuaikan dengan konsep maupun algoritma yang ingin dipahami oleh siswa selain disampaikan oleh guru, masalah kontekstual dapat pula berasal dari siswa. Langkah kedua sesuai karakteristik pertama dan keempat dari pembelajaran matematika realistik yakni adanya masalah kontekstual serta interaksi antar siswa dan antara siswa dengan guru.

3. Langkah ketiga:  Siswa menyelesaikan masalah kontekstual.
Secara individual atau kelompok, siswa menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri dengan maupun tanpa bimbingan guru. Kegiatan penyelesaian soal bertumpu pada penemuan konsep maupun algoritma dalam matematika dilakukan siswa melalui kegiatan invention atau reinvention dengan cara memodelkan masalah secara informal yang dilanjutkan pada penyelesaian formal. Untuk memperoleh penyelesaian soal maupun penemuan konsep atau algoritma dalam matematika siswa selalu melakukan kegiatan refleksi yakni meninjau ulang hal yang telah dilakukan agar diperoleh hasil yang diharapkan.
Guru memotivasi dan membimbing siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami konsep maupun dalam menemukan cara menyelesaikan masalah yang sesuai dengan cara mereka sendiri dengan memberikan petunjuk/saran. Dalam membimbing siswa memahami suatu konsep matematika, guru dapat mengkaitkan konsep yang akan dipahami tersebut dengan konsep lain pada topik yang berbeda yang telah dipahami oleh siswa. Dengan bantuan topik lain tersebut, siswa dapat terbantu dalam memahami suatu konsep dalam matematika.
Perbedaan proses maupun hasil dari penyelesaian suatu masalah oleh siswa sangat dimungkinkan, karena adanya perbedaan pengetahuan maupun pengalaman siswa sebelumnya. Adanya perbedaan kemampuan awal dari siswa membawa dampak terhadap perbedaan perlakuan yang dilakukan guru. Guru membimbing siswa sesuai dengan kemampuan dan karakteristiknya
Guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban dari soal secara berkelompok, untuk selanjutnya dibandingkan dan didiskusikan pada diskusi kelas. Dalam diskusi, siswapun melakukan kegiatan refleksi terhadap hal yang telah diperoleh oleh siswa, baik mengenai pemahaman tentang masalah kontekstual, model masalah, cara menyelesaikan masalah dan jawaban dari masalah tersebut. Karakteristik pendekatan matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah karakteristik ketiga, keempat dan kelima yaitu mengkaitkan sesama topik, penggunaan metode interaktif dan menggunakan ragam jawaban dan kontribusi siswa.

4. Langkah keempat: Penarikan kesimpulan.
Dan hasil diskusi kelompok maupun diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan terhadap penyelesaian suatu masalah kontekstual dan membuat generalisasi konsep atau algoritma yang ditemukan. Guru berperan sebagai mediator yang mengarahkan diskusi agar berlangsung secara dinamis dan demokratis, sehingga diperoleh hasil kesimpulan bersama.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini karakteristik keempat dan kelima yaitu adanya interaksi antara siswa dengan guru dan penghargaan terhadap ragam jawaban dan kontribusi siswa.

5. Langkah kelima: Penegasan dan pemberian tugas.
Hasil kesimpulan tentang penyelesaian dan masalah kontekstual dan hasil generalisasi dari suatu konsep maupun algoritma dalam matematika yang diperoleh ditegaskan kembali oleh guru. Hal ini dilakukan agar pemahaman yang telah diperoleh siswa menjadi lebih mantap. Untuk lebih memantapkan pengetahuan maupun keterampilan yang telah diperoleh siswa, maka guru memberikan soal-soal latihan untuk dikerjakan siswa secara individual maupun kelompok. Penyelesaian tugas tersebut dapat dilakukan di kelas maupun di rumah (PR).



Selasa, 03 Mei 2011

Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI)


A.    Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI)

1.      Pengetahuan Sistem Insturksional
Sstem Instruksional menunjukkan pada pengertian pengajaran sebagai sistem, yaitu sebagai suatu kesatuan yang terorganisasi, yang terdiri atas sejumlah komponen yang saling berhubungan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Sebagai suatu sistem, pengajaran mengandung sejumlah komponen, antara lain: materi pelajaran, metode, dan alat evaluasi, yang kesemuanya itu berinteraksi satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan pengajaran yang telah dirumuskan.
Dengan kata lain, agar tujuan itu dapat tercapai, semua komponen yang ada di dalamnya harus diorganisasikan sedemikian rupa, sehingga komponen-komponen tersebut dapat bekerja sama dengan harmonis. Oleh karena itu, di dalam mengembangkan suatu pengajaran atau Sistem Instruksional, tidak hanya memperhatikan komponen materi, metode, atau evaluasi saja, tetapi juga melihat pengajaran sebagai suatu keseluruhan sebagai suatu sistem.
Meskipun tujuan-tujuan pengajaran yang telah dirumuskan sebaik mungkin, apabila tidak disertai dengan materi pelajaran yang sesuai, metode/alat yang tepat, prosedur evaluasi yang mantap, maka tipis kemungkinan tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai.
Pengertian Sistem Instruksional dapat dikembangkan dalam ruang lingkup yang sangat terbatas, yang disebut micro-system, misalnya sistem dalam  pengajaran mengenai suatu topik pelajaran tertentu.

2.      Langkah –langkah Pokok di Dalam Mengembangkan Sistem Instruksional
Apabila kita ingin mengajarkan suatu topik pelajaran kepada siswa, perlu ditempuh sejumlah langkah-langkah tertentu sebagai berikut:

a.      Merumuskan Tujuan-tujuan Pengajaran (Instruksional) yang Ingin Dicapai
1.      Pengertian
Tujuan-tujuan instruksional di sini maksudnya adalah perumusan tentang tingkah laku atau kemampuuan-kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh para siswa setelah ia mengikuti pengajaran yang telah diberikan. Kemampuan-kemampuan yang diharapkan itu dirumuskan secara spesifik atau khusus dan operasional sehingga nantinya dapat dinilai. Dengan demikian, tujuan yang dirumuskan tersebut tidak akan menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda pada orang lain yang membaca rumusun tujuan tersebut.
2.      Perbedaan antara Tujuan Instruksional dan Proses Mengajar
Telah dinyatakan bahwa tujuan instruksional mengandung perumusan tingkah laku/ kemampuan yang dimiliki siswa setelah menyelesaikan suatu kegiatan belajar tertentu.
Perhatikan pernyataan di bawah ini :
“Mengajarkan kepada siswa tentang jenis-jenis bangun datar.”
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pernyataan di atas bukan merupakan perumusan tujuan, sebab pernyataan tersebut tidak mengambarkan kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah mengikuti sesuatu kegiatan belajar tertentu. Sebaliknya pernyataan di atas lebih merupakan suatu proses mengajar, bukan tujuan instruksional.
Perhatikanlah contoh di bawah ini yang memperlihatkan perbedaan antara tujaun instruksional dan proses mengajar.
Tujuan Instruksional
Proses Mengajar
1.       Siswa dapat menyebutkan dengan tepat jenis-jenis bangun datar.
2.       Siswa dapat menghitung luas bujur sangkar yang diketahui panjang salah satu sisinya.
1.      Mengajarkan kepada siswa tentang jenis-jenis bangun datar.

2.      Mengajarkan kepada siswa cara menghitung luas bujur sangkar.

3.      Bagaimana Merumuskan Kemampuan-kemampuan Siswa dalam Tujuan Instruksional
Perumusan kemampuan siswa merupakan syarat mutlak dalam tujuan instruksional. Perumusan tersebut hendaknya cukup jelas sehingga tidak menimbulkan tafsiran yang berbeda. Untuk itu hendaknya digunakan istilah-istilah tertentu yang operasional sehingga dapat diukur, tetapi jika yang digunakan istilah-istilah yang kurang operasional dapat menimbulkan berbagai interpretasi yang berbeda.
Contoh istilah-istilah yang operasional: menuliskan, menyebutkan, memiliki, membedakan, memecahkan (soal), membandingkan, menghitung dan sebagainya.
Contoh istilah-istilah yang kurang operasional: memahami, mengetahui, menikmati, menghargai, mempercayai, meyakinkan dan sebagainya.

4.      Kriteria dalam Merumuskan Tujuan Instruksional
Sebagai pedoman bagi guru-guru dalam menyusun tujuan-tujuan instrusional, maka kriteria yang harus diperhatikan dalam merumuskan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam suatu topik pelajaran  tertentu adalah:
a)      Harus menggunakan istilah-istilah yang operasional.
Contoh:
-          Tepat : “siswa dapat memberikan contoh tentang penerapan matematika pada kehidupan sehari-hari.”
-          Kurang tepat :  “siswa mengetahui tentang penerapan matematika pada kehidupan sehari-hari.
b)      Harus dalam bentuk hasil belajar
Tujuan instruksional hendaknya menggambarkan hasil belajar yang diharapakan pada diri siswa setelah ia menempuh suatu kegiatan belajar tertentu, jadi yang dilukiskan di sini bukan apa-apa yang ia pelajari, tapi hasil apa yang ia peroleh setelah mempelajari sesuatu.


Contoh:
-          Tepat: “siswa dapat mengubah bilangan pecahan ke dalam bentuk bilangan desimal.”
-          Kurang tepat: “ cara-cara mengubah bilangan pecahan ke dalam bentuk bilangan desimal.”
c)      Harus berbentuk tingkah laku siswa
Isi perumusan tujuan instruksional hendaknya bertolak pada perubahan tingkah laku siswa yang diharapkan, bukan pada proses mengajar guru.
Contoh:
-          Tepat: “siswa dapat menemukan dengan tepat nilai p dalam suatu persamaan kuadrat.”
-          Kurang tepat: “membina kemampuan memecahkan paersamaan kuadrat.”
d)      Hanya meliputi satu jenis tingkal laku.
Perumusan tujuan hendaknya meliputi hanya satu jenis tingkah laku/ kemampuan saja. Bila terkandung lebih dari satu kemampuan dalam suatu perumusan tujuan sering timbul kesulitan dalam mengevaluasi sampai dimana tujuan tersebut telah tercapai, sebab mungkin salah satu aspek kemampuan lainnya belum tercapai.
Contoh:
-          Tepat: “siswa dapat menghitung rata-rata suatu populasi.”
-          Kurang tepat: “siswa dapat menghitung rata-rata dan variansi dari suatu populasi.”

b.      Mengembangkan Alat Evaluasi
Setelah semua tujuan-tujuan instruksional selesai dirumuskan, maka langkah selanjutnya mengembangkan alat evaluasi untuk menilai sampai dimana tujuan-tujuan tersebut telah tercapai.
Untuk menilai tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan tersebut, maka perlu ditentukan terlebih dahulu jenis-jenis tes yang akan digunakan, tes tersebut dapat berupa tes lisan, tes tulisan maupun tes perbuatan.
1)      Bila suatu tujuan berbunyi sebagai berikut:
“ Siswa dapat menyebutkan macam-macam bangun ruang”. Maka jenis tes untuk menilai tercapai tidaknya tujuan tersebut adalah jenis tes lisan.
2)      Bila suatu tujuan berbunyi sebagai berikut:
“Siswa dapat menyelesaikan pertidaksamaan trigonometri”. Maka jenis tes untuk menilai tercapai tidaknya tujuan tersebut adalah tes tertulis.
3)      Bila suatu tujuan berbunyi sebagai berikut:
“Siswa dapat membuat salah satu bangun ruang dari kertas manila”. Maka jenis tes untuk menilai tercapai tidaknya tujuan ini adalah jenis tes perbuatan, dimana siswa melakukan sesuatu dan penilaian oleh guru dilakukan melalui observasi terhadap perbuatan siswa.
Kemudian langkah selanjutnya dalam mengembangkan alat evaluasi adalah merumuskan pertanyaan-pertanyaan (items) untuk menilai masing-masing tujuan. Pertanyaan tersebut dapat berupa uraian atau pertanyaan-pertanyaan dengan pilihan jawaban terbatas, ataupun bentuk-bentuk lainnya seperti bentuk melengkapi dan pertanyaan-pertanyaan yang menuntut jawaban-jawaban singkat.

c.       Menetapkan Kegiatan-kegiatan Belajar yang Perlu Ditempuh.
Langkah selanjutnya adalah menetapkan kegiatan belajar apakah yang perlu ditempuh, agar mereka dapat melakukan hal-hal yang telah dirumuskan tujuan inatruksional.
Langkah-langkah pokok untuk melaksanakan tugas ini agar lebih baik adalah:
1.      Merumuskan semua kemungkinan kegiatan belajar yang diperlukan untuk mencapai tujuan instruksional.
2.      Menetapkan dari sekian kegiatan-kegiatan belajar tersebut yang tidak perlu ditempuh lagi oleh siswa berhubung mereka telah mengetahuinya. Untuk itu perlu diadakan sebuah tes, yaitu Input Test yang bertujuan untuk menilai pengetahuan/ keterampilan siswa dalam kegiatan-kegiatan belajar ynag telah dirumuskan, sehingga dengan demikian dapat ditentukan kegiatan-kegiatan belajar mana yang perlu dan mana yang tidak perlu lagi ditempuh siswa untuk mnecapai suatu tujuan instruksional tertentu.
Misalnya pada pelajaran bangun ruang, setelah diadakan Input Test ternyata semua siswa telah mengetahui macam-macam bangun ruang, tetapi mereka belum mengetahui cara mencari volume bangun  ruang tersebut.
3.      Menetapkan kegiatan-kegiatan belajar mana yang nantinya akan ditempuh siswa.
Setelah kegiatan-kegiatan belajar tersebut dirumuskan, maka langkah selanjutnya adalah menetapkan kemampuan-kemampuan dasar tertentu, seperti kemampuan di bidang bahasa, bilangan, dan ruang.

d.      Merencanakan Program Kegiatan
1.      Merumuskan materi pelajaran
Setelah kegiatan belajar yang akan ditempuh oleh siswa dirumuskan, maka langkah selanjutnya merumuskan pokok-pokok materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswa sesuai dengan jenis-jenis kegiatan belajar yang telah ditetapkan.
2.      Metode yang digunakan
Untuk memilih metode-metode mana yang tepat untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa, perlu ketahui dulu sejumlah metode yang dapat digunakan dalam mengajar. Seperti metode ceramah, demonstrasi, pemberian tugas dan sebagainya.
3.      Menyusun jadwal
Atas dasar banyaknya materi yang ingin disampaikan dan metode-metode yang digunakan, maka kita coba untuk memperhitungkan dalam beberapa jam pelajaran materi tersebut dapat disampaikan seluruhnya. Dengan cara inilah kita dapat menyusun jadwal pengajaran mengenai topik yang akan diberikan.


e.       Melaksanakan Program.
1.      Mengadakan Pre-Test
Tujuan dari Pre-Test ini adalah untuk menilai sampai dimana siswa telah menguasai kemampuan-kemampuan yang tercantum dalam tujuan-tujuan instruksional, sebelum mereka mengikuti program pengajaran yang telah disiapkan. Hasil Pre-Test ini berfungsi sebagai bahan perbandingan dengan hasil post-test setelah mereka selesai mengikuti program pengajaran tertentu. Test yang diberikan dalam pre-test berupa tes lisan, tes tulisan, atau tes perbuatan.
2.      Menyampaikan materi pelajaran kepada siswa
Dalam menyampaikan materi pelajaran pada prinsipnya, berpegang pada rencana yang telah disusun dalam langkah Perencanaan Program Kegiatan, baik mengenai materi, metode maupun alat yang digunakan. Disamping itu, sebelum guru-guru mulai menyampaikan materi pelajaran hendaknya dijelaskan dulu tujuan-tujuan instruksional yang ingin dicapai kepada siswa sehingga sebelum pelajaran dimulai mereka telah mengetahui kemampuan-kemampuan apakah yang diharapkan dari mereka setelah selesai mengikuti pengajaran.
3.      Mengadakan Post-Test (Evaluasi)
Post-Test diberikan setelah siswa mengikuti program pengajaran. Test yang diberikan dalam Post-Test identik tes yang diberikan pada Pre-Test.
Jadi perbedaan antara Pre-Test dan Post-Test hanyalah dalam waktu dan fungsi masing-masing, yaitu:
-          Pre-Test diadakan sebelum pengajaran dimulai sedangkan Post-Test diadakan setelah siswa selesai mengikuti pengajaran yang diberikan.
-          Pre-Test berfungsi untuk menilai kemampuan siswa mengenai materi pelajaran sebelum pengajaran diberikan, sedangkan Post-Test berfungsi untuk menilai kemampuan siswa mengenai materi pelajaran setelah pengajaran diberikan.
Setelah post-test selesai dilakukan dan diperiksa, maka selanjutnya membandingkannya dengan nilai pre-test.
Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk membandingkan hasil Pre-Test dan Post-Test:
(1)   Hasil keseluruhan test
Untuk melakukan perbandingan ini langkah-langkah yang ditempuh:
a)      Menghitung angka rata-rata yang dicapai siswa pada Pre-Test.
b)      Menghitung angka rata-rata yang dicapai siswa pada Post-Test.
Dengan melihat perbedaan rata-rata antara Pre-Test dan Post-Test dapat kita simpulkan sampai dimana manfaat program pengajaran yang telah diberikan dalam mencapai tujuan-tujuan instruksional yang telah dirumuskan.
(2)   Pertanyaan demi pertanyaan
Disini semua pertanyaan tes dianalisa dengan cara yang sama, sehingga kelemahan yang terdapat dalam bagian-bagian tertentu pada program yang telah disusun dapat diketahui.
Dengan melakukan dua jenis perbandingan tersebut, maka sekurang-kurangnya kita dapat mengetahui 3 hal:
a.          Hasil belajar yang dicapai masing-masing siswa dengan program pengajaran yang kita adakan.
b.          Sampai dimana program yang kita adakan telah berhasil mencapai tujuan-tujuna yang telah dirumuskan.
c.          Kelemahan-kelemahan yang masih terdapat dalam begian-bagian tertentu dari program yang kita berikan, sehingga memberikan pedoman pada kita untuk melakukan revisi.

Sabtu, 30 April 2011

Penilaian Berbasis Kelas


A.    Pengertian
Penilaian berbasis kelas adalah penilaian yang dilakukan oeleh guru dalam rangka proses pembelajaran. Penilaian berbasis kelas merupakan proses pengumpulan dan penggunaan informasi dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan oleh guru untuk menetapkantingkat pencapaian dan penguasaan peserta didik terhadap tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, yaitu standar kompetensi, kompetensi dasar dan indicator pencapaian belajar yang terdapat dalam kurikulum.
Peranan guru menjadi semakin kompleks karena bukan hanya menjadi fasilitator didalam ruangan kelas melainkan juga menjadi designer (perancang) dariejumlah aspek yag menjadi bahan penilaian. Guru dituntut untuk mampu mendesain pembelajaran yang disusun secara sistematis dan kontinuitas, membuat agenda belajar, menyediakan kuis-kuis, menyusun modul dan merancang rubric yang dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan portofolio, product, project, performance.

B.     Karakteristik penilaian berbasis kelas
  1. Penilaian berbasis kelas merupakan bagian interal dalam proses pembelajaran, artinya bahwa penilaian ini dilakukan secara terus menerus dalam setiap kegiatan pembelajaran yang dilakukan siswa baik di dalam maupun diluar kelas, seperti dilaboratorium atau dilapangan ketika siswa sedang melakukan proses pembelajaran.
  2. Penilaian berbasis kelas merupakan proses pengupulan informaisyang menyeluruh, artinya dalam penilaian ini guru dapat mengembangkan berbagai jenis evaluasi baik evaluasi yang berkaitan dengan pengujian dan pengukuran tingkat kognitif siswa seperti menggunakan tes maupun evaluasi terhadap perkembangan mental melalui penilaian tentang sikap, dan evaluasi terhadap produk ataukarya siswa.
  3. Hasil pengumpulan informasi ssimanfaatkan untuk menetapkan tingkat penguasaan kompetensi baik standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator hasil belajar seperti yang terdapat dalam kurikulum.
  4. Hasil pengumpulan informasi digunakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa melalui proses perbaikan kualitas pembelajaran agar lebih efektif dan efisien


C.     Manfaat penilaian berbasis kelas
  1. Menjamin agar proses pembelajaran yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencapai kompetensi sesuai dengan kurikulum.
  2. Menentukan berbagai kelemahan dan kelebihan baik yang dilakukan siswa maupun guru selama proses pembelajaran berlangsung.
  3. Menentukan pencapaian kompetensi oleh siswa, apakah siswa telah mencapai seluruh kompetensi yang diharapkan atau belum.

D.    Prinsip penilaian berbasis kelas
Sebagai suatu proses, pelaksanaan penilaian berbasis kelas harus terencana dan terarah sesuai dengan tujuan pencapaian kompetensi. Hakekat penilaian berbasis kelas adalah untuk menigkatkan kualitas pembelajaran, bukan semata-mata alat untuk mengetahui penguasaan materi pelajaran. Oleh karena itulah dalam proses pelaksanaannya, guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
  1. Motivasi
Penilaian berbasis kelas diarahkan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa melalui upaya pemahaman akan kekuatan dan kelemahan yang dimilki baik oleh guru maupun siswa.

  1. Validitas
Penilaian diarahkan bukan semata-mata untuk melengkapi syarat administratif saja, akan tetapi diarahkan untuk memperoleh informasi tentang ketercapaian kompetensi seperti yang terumuskan dalam kurikulum.
  1. Adil
Penilaian berbasis kelas menekankan perlakuan yang adil kepada semua peserta didik. Artinya semua peserta didik harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk dinilai tanpa membedakan latar belakang sosial ekonomi, budaya, bahasa dan jenis kelamin.
  1. Terbuka
Penilaian berbasis kelas menekankan adanya keterbukaan, dimana semua pihak baik guru maupun peserta didik perlu mengenali kemampuan masing-masing, jenis penilaian maupun format penilaian yang akan digunakan.
  1. Berkesinambungan
Penilaian berbasis kelas pada hakekatnya merupakan bagian integral dari proses pembelajaran. Oleh karena itu penilaian harus dilakukan secara berencana, bertahap dan terus menerus untuk memperoleh ganbaran tentang perkembangan belajar peserta didik. Hal ini dilakukan untuk melihat kesinambungan antara materi pokok yang satu dengan materi pokok yang lain.
  1. Bermakna
Penilaian ini harus tersusun dan terarah, sehingga hasilnya benar-benar memberikan makna kepada semua pihak khususnya kepada siswa itu sendiri. Melalui penilaian berbasis kelas, siswa akan mengetahui posisi mereka dalam perolehan kompetensi. Disamping itu mereka akan memahami kesulitan-kesulitan yang dirasakan dalam mencapai kompetensi. Dengan demikian hasil penilaian itu juga bermakna bagi guru temasuk bagi orang tua dalam memberikan bimbingan kepada setiap siswa dalam upaya memperoleh kompetensi sesuai dengan target kurikulum.
  1. Menyeluruh
Penilaian berbasis klas dilakukan dengan berbagai teknik dan prosedur untuk menjamin tersedianya informasi yang utuh dan lengkap tentang kinerja peserta didik, baik yang mencakup aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. Guru hendaknya menggunakan semua jenis penilaian seperti penilaian tertulis, penilaian project, penilaian penampilan, penilaian portofolio yang sangat bergantung kepada tuntutan kompetensi yang terdapat dalam kurikulum.
  1. Edukatif
Hasil penilaian berbasis kelas tidak semata-mata diarahkan untuk memperoleh gambaran kemampuan siswa dalam pencapaian kompetensi melalui angka yang diperoleh, akan tetapi hasil penilaian harus memberikan umpan balik untuk memperbaiki proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru maupun siswa, sehingga hasil belajar lebih optimal. Dengan demikian proses penilaian tidak semata-mata tidak tanggung jawab guru akan tetapi juga merupakan tanggung jawab siswa.

E.     Dasar penilaian berbasis kelas
Penerapan penilaian berbasis kelas dilakuakn sesuai dengan jenis dan bentuk penilaian yang digunakan dikelas. Dalam penggunaan penilaian berbasis kelas, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Guru terlebih dahulu memahami kondisi peserta didik sehingga mampu menerapkan pengajaran yang tepat.
  2. Menjelaskan tujuan kegiatan pembelajaran.
  3. Menentukan kompetensi peserta didik
  4. Memilih teknik penilaian berbasis kelas yang tepat.
  5. Memilih gaya pengajaran secara konsisten sehingga dapat diterapkan dengan mudah.
  6. Guru dan peserta didik mampu menggunakan informasi hasil belajar peserta didik secara maksimal.
  7. Mampu menelaah hasil teknik penilaian.
  8. Mampu mengetahui teknik penilaian yang digunakan.

F.      Jenis penilaian berbasis kelas
Jenis penilaian sangat bergantung kepada kompetensi dasar maupun indikator  yang di uraikan dalam kurikulum.
  1. Tes tertulis
Penilaian secara tertulis dilakukan dengan tes tertulis. Tes Tertulis merupakan tes dimana soal dan jawaban yang diberikan kepada peserta didik dalam bentuk tulisan. Dalam menjawab soal peserta didik tidak selalu merespon dalam bentuk menulis jawaban tetapi dapat juga dalam bentuk yang lain seperti memberi tanda, mewarnai, menggambar dan lain sebagainya.
  1. Tes perbuatan
Tes perbuatan dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung yang memungkinkan terjadinya praktek.
  1. Pemberian tugas
Pemberian tugas dilakukan untuk semua mata pelajaran mulai awal kelas sampai akhir kelas sesuai dengan materi pelajaran dan perkembangan peserta didik. Pelaksanaan pemberian tugas perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Jumlah tugas yang diberikan tidak memberatkan peserta didik.
2.      Jenis dan materi pemberian tugas harus didasarkan kepada tujuan pemberian tuigas.
3.      Tugas dapat mengembangkan kreatifitas dan rasa tanggung jawab serta kemandiriran siswa.
  1. Penilaian proyek
Penilaian proyek merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan dalam periode/waktu tertentu.
Dalam penilaian proyek setidaknya ada 3 (tiga) hal yang perlu dipertimbangkan yaitu:
v  Kemampuan pengelolaan
Kemampuan peserta didik dalam memilih topik dan mencari informasi serta dalam mengelola waktu pengumpulan data dan penulisan laporan.

v  Relevansi
Kesesuaian dengan mata pelajaran/program keahlian, dalam hal ini mempertimbangkan tahap pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman dalam pembelajaran.
v  Keaslian
Proyek yang dilakukan peserta didik harus merupakan hasil karyanya, dengan mempertimbangkan kontribusi guru, du/di, penilai pada proyek peserta didik, dalam hal ini petunjuk atau dukungan.

  1. Penilaian produk
Penilaian produk adalah penilaian terhadap keterampilan dalam membuat suatu produk dan kualitas produk tersebut. Penilaian produk tidak hanya diperoleh dari hasil akhir saja tetapi juga proses pembuatannya. Penilaian produk meliputi penilaian terhadap kemampuan peserta didik membuat produk-produk teknologi dan seni, seperti: makanan, pakaian, hasil karya seni (patung, lukisan, gambar), barang-barang terbuat dari kayu, keramik, plastik, dan logam.